BAGANSIAPIAPI – Selain hasil perikanan yang terdapat disungai Rokan,
ternyata ada kisah misterius seputar predator sungai yang dipercaya sudah lama
hidup berdampingan dengan masyarakat yang berada dipesisir sungai Rokan yakni Buaya.
Reptil bertubuh besar yang hidup didaerah rawa sungai Rokan ternyata ada dua
jenis yakni buaya ikan bermuncung panjang atau disebut orang buaya serunai dan
satu lagi buaya katak.
Sungai
Rokan yang memanjang dari hulu ke hilir menuju muara kelaut, merupakan urat
nadi kehidupan masyarakat khususnya yang berada dipinggiran sungai. Bisa
dikatakan bahwa sungai Rokan dianggap sungai permanen karena debit airnya
sepanjang tahun relative tetap. Disana, berbagai jenis ikan mudah didapat
sehingga ketergantungan masyarakat yang bermata pencahrian sebagai nelayan,
begitu sangat mendominasi dalam kehidupan sehari hari.
Menelusuri
sejarah tentang asal muasal buaya disungai Rokan, Aku disuguhkan cerita tentang
keberadaan buaya yang sangat erat hubungannya dengan Tuan Syekh Zainuddin yang
berasal dari Tanah Putih. Seperti yang diceritakan tokoh masyarakat desa
Labuhan Tangga Kecil bernama Zulkifli yang akrab disapa penghulu
Ijul, kegemaran Tuan Syekh yang mengumpulkan seluruh jenis ikan dan buaya
yang terdapat disungai Rokan, adalah salah satu wujud agar spesies langka itu
tidak punah. Di kolam yang terletak pada pulau yang terbentuk berasal
dari endapan lumpur yang kini disebut pulau pedamaran, berbagai jenis ikan dan buaya
tumbuh dan berkembang biak hingga saat ini.
Menurut
cerita, buaya peliharaan Tuan Syekh sangat jinak. Jika ingin pergi shalat Jumat
ke Tanah Putih, Tuan Syekh sering menggunakan sampan yang terbuat dari kayu dan
tenaga pendorongnya adalah puluhan ekor buaya yang menyodok sampan dengan
menggunakan mulutnya. Misteri keberadaan buaya Tuan Syekh yang dianggap
mengancam kehidupan manusia terutama bagi mereka yang melakukan kegiatan disungai,
banyak menuai kontraversi. Mereka beranggapan, yang sering memangsa manusia
bukanlah buaya peliharaan Tuan Syekh, tapi merupakan buaya liar. “ Sebenarnya buaya
tidak pernah memangsa manusia apalagi buaya Tuan Syekh. karena buaya tidak
mempunyai lidah. Jika buaya punya lidah, pastilah buaya akan merasakan lezatnya
daging manusia,” tutur Penghulu Zul.
Tidak
dipungkiri, menurut bapak yang sudah 12 tahun menjadi penghulu itu, selain ajal
manusia yang sudah ditakdirkan berakhir hidupnya dimulut buaya, sebenarnya ada
juga pantangan dan larangan yang tidak tertulis namun dipercaya hingga kini
masih dipatuhi sebagian masyarakat disana. Misalnya, jangan bersumpah sanggup
dimakan buaya dan juga jangan berkata takabur “ Beberapa waktu lalu ada seorang
pemuda dituduh mencuri. Karena tak mengaku, dia pun bersumpah jika terbukti
mencuri, maka sanggup mati dimakan buaya,” kenang Zul. Rupanya, selang tidak
beberapa lama setelah kejadian itu, terdengar khabar pemuda yang bersumpah itu
mati tewas diterkam buaya ketika sedang melaut.
Namun
yang diceritakan Zulkifli berbeda pula dengan penuturan tokoh pemuda kecamatan
Sinaboi bernama Pendi. Desa Sinaboi sempat heboh dengan kemunculan buaya
berukuran 7 meter dipermukaan sungai. Selama tiga hari, nelayan disana tidak
berani melaut. Warga bertanya Tanya apa penyebab buaya tersebut tidak mau
berganjak dari sungai itu. Sampai pada suatu malam, seorang kalifah bermimpi.
Dalam mimpinya, sang buaya sengaja menampakkan diri karena ada salah satu warga
disana mencuci kelambu dipinggiran sungai. Paginya, khabar mimpi itu langsung
diumumkan melalui pengeras di mushalla dan mesjid yang melarang masyarakat
mencuci kelambu disungai karena khawatir akan mendatangkan buaya. Setelah warga
meminta maaf dengan buaya tersebut, akhirnya nelayan sinaboi sampai sekarang
merasa aman dan tidak terganggu lagi dengan kehadiran buaya.
Salah
satu warga desa labuhan tangga kecil, Adnan, mengungkapkan, dahulu sebelum
dibangun jalan lintas, masyarakat desa labuhan tangga kecil hingga ke desa batu
hampar sudah terbiasa menyusuri sungai dengan menggunakan sampan. Malahan,
warga sering terjun kesungai untuk menangguk udang galah. “ Dahulu, banyak
udang yang mabuk dan sering kami tangguk. Saat itu, kami tidak pernah khawatir
jika diterkam buaya,” ujar Adnan. Menurut keterangan warga setempat, didesa
pulau halang, ada seorang ethnis Tiong hoa bernama Tak Wan yang membuat usaha
penangkaran buaya. “ Usaha penangkaran buaya Tak Wan dibuat kira kira pada
tahun 1900 an,” tutur salah satu warga, Thamrin (65) yang sehari hari
berprofesi sebagai penjaja ikan keliling. Usaha yang digeluti Tak Wan bertujuan
mengambil kulitnya untuk dijual ke Malaysia.
Namun
seiring berjalannya waktu, kulit buaya tidak diminati lagi investor dari
Malaysia terkait regulasi tentang larangan impor kulit buaya kenegara
Jiran itu. Alhasil, karena tidak ada pesanan lagi, tempat penangkaran yang
berisi ratusan ekor buaya, dikhabarkan jebol karena jumlah buaya tidak memadai
dengan luas penangkaran yang ada. Sebagian besar warga percaya bahwa selama ini
buaya yang sering memangsa manusia dipinggiran sungai Rokan diduga buaya
peliharaan Tak Wan yang berkeliaran mencari mangsa. Dugaan ini diperkuat
mengingat pada tahun 1800 an dimasa Tuan Syekh membuat penangkaran buaya, tidak
pernah sekalipun terjadi manusia dimangsa buaya. “ Kebanyakan manusia dimangsa buaya
diatas tahun 1900 an sejak penangkaran buaya Tak Wan jebol ,” Ujar Thamrin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar