Rabu, 01 Oktober 2014

MENGUAK MISTERI PREDATOR PEMANGSA MANUSIA DI SUNGAI ROKAN



BAGANSIAPIAPI – Selain hasil perikanan yang terdapat disungai Rokan, ternyata ada kisah misterius seputar predator sungai yang dipercaya sudah lama hidup berdampingan dengan masyarakat yang berada dipesisir sungai Rokan yakni Buaya. Reptil bertubuh besar yang hidup didaerah rawa sungai Rokan ternyata ada dua jenis yakni buaya ikan bermuncung panjang atau disebut orang buaya serunai dan satu lagi buaya katak. 

Sungai Rokan yang memanjang dari hulu ke hilir menuju muara kelaut, merupakan urat nadi kehidupan masyarakat khususnya yang berada dipinggiran sungai. Bisa dikatakan bahwa sungai Rokan dianggap sungai permanen karena debit airnya sepanjang tahun relative tetap. Disana, berbagai jenis ikan mudah didapat sehingga ketergantungan masyarakat yang bermata pencahrian sebagai nelayan, begitu sangat mendominasi dalam kehidupan sehari hari. 

Menelusuri sejarah tentang asal muasal buaya disungai Rokan, Aku disuguhkan cerita tentang keberadaan buaya yang sangat erat hubungannya dengan Tuan Syekh Zainuddin yang berasal dari Tanah Putih. Seperti yang diceritakan tokoh masyarakat desa Labuhan Tangga Kecil  bernama  Zulkifli yang akrab disapa penghulu Ijul, kegemaran Tuan Syekh yang mengumpulkan seluruh jenis ikan dan  buaya yang terdapat disungai Rokan, adalah salah satu wujud agar spesies langka itu tidak punah.  Di kolam yang terletak pada pulau yang terbentuk berasal dari endapan lumpur yang kini disebut pulau pedamaran, berbagai jenis ikan dan buaya tumbuh dan berkembang biak hingga saat ini. 

Menurut cerita, buaya peliharaan Tuan Syekh sangat jinak. Jika ingin pergi shalat Jumat ke Tanah Putih, Tuan Syekh sering menggunakan sampan yang terbuat dari kayu dan tenaga pendorongnya adalah puluhan ekor buaya yang menyodok sampan dengan menggunakan mulutnya. Misteri keberadaan buaya Tuan Syekh yang dianggap mengancam kehidupan manusia terutama bagi mereka yang melakukan kegiatan disungai, banyak menuai kontraversi. Mereka beranggapan, yang sering memangsa manusia bukanlah buaya peliharaan Tuan Syekh, tapi merupakan buaya liar. “ Sebenarnya buaya tidak pernah memangsa manusia apalagi buaya Tuan Syekh. karena buaya tidak mempunyai lidah. Jika buaya punya lidah, pastilah buaya akan merasakan lezatnya daging manusia,” tutur Penghulu Zul. 

Tidak dipungkiri, menurut bapak yang sudah 12 tahun menjadi penghulu itu, selain ajal manusia yang sudah ditakdirkan berakhir hidupnya dimulut buaya, sebenarnya ada juga pantangan dan larangan yang tidak tertulis namun dipercaya hingga kini masih dipatuhi sebagian masyarakat disana. Misalnya, jangan bersumpah sanggup dimakan buaya dan juga jangan berkata takabur “ Beberapa waktu lalu ada seorang pemuda dituduh mencuri. Karena tak mengaku, dia pun bersumpah jika terbukti mencuri, maka sanggup mati dimakan buaya,” kenang Zul. Rupanya, selang tidak beberapa lama setelah kejadian itu, terdengar khabar pemuda yang bersumpah itu mati tewas diterkam buaya ketika sedang melaut. 

Namun yang diceritakan Zulkifli berbeda pula dengan penuturan tokoh pemuda kecamatan Sinaboi bernama Pendi. Desa Sinaboi sempat heboh dengan kemunculan buaya berukuran 7 meter dipermukaan sungai. Selama tiga hari, nelayan disana tidak berani melaut. Warga bertanya Tanya apa penyebab buaya tersebut tidak mau berganjak dari sungai itu. Sampai pada suatu malam, seorang kalifah bermimpi. Dalam mimpinya, sang buaya sengaja menampakkan diri karena ada salah satu warga disana mencuci kelambu dipinggiran sungai. Paginya, khabar mimpi itu langsung diumumkan melalui pengeras di mushalla dan mesjid yang melarang masyarakat mencuci kelambu disungai karena khawatir akan mendatangkan buaya. Setelah warga meminta maaf dengan buaya tersebut, akhirnya nelayan sinaboi sampai sekarang merasa aman dan tidak terganggu lagi dengan kehadiran buaya. 

Salah satu warga desa labuhan tangga kecil, Adnan, mengungkapkan, dahulu sebelum dibangun jalan lintas, masyarakat desa labuhan tangga kecil hingga ke desa batu hampar sudah terbiasa menyusuri sungai dengan menggunakan sampan. Malahan, warga sering terjun kesungai untuk menangguk udang galah. “ Dahulu, banyak udang yang mabuk dan sering kami tangguk. Saat itu, kami tidak pernah khawatir jika diterkam buaya,” ujar Adnan. Menurut keterangan warga setempat, didesa pulau halang, ada seorang ethnis Tiong hoa bernama Tak Wan yang membuat usaha penangkaran buaya. “ Usaha penangkaran buaya Tak Wan dibuat kira kira pada tahun 1900 an,” tutur salah satu warga, Thamrin (65) yang sehari hari berprofesi sebagai penjaja ikan keliling. Usaha yang digeluti Tak Wan bertujuan mengambil kulitnya untuk dijual ke Malaysia. 

Namun seiring berjalannya waktu, kulit buaya tidak diminati lagi investor dari Malaysia terkait  regulasi tentang larangan impor kulit buaya kenegara Jiran itu. Alhasil, karena tidak ada pesanan lagi, tempat penangkaran yang berisi ratusan ekor buaya, dikhabarkan jebol karena jumlah buaya tidak memadai dengan luas penangkaran yang ada. Sebagian besar warga percaya bahwa selama ini buaya yang sering memangsa manusia dipinggiran sungai Rokan diduga buaya peliharaan Tak Wan yang berkeliaran mencari mangsa. Dugaan ini diperkuat mengingat pada tahun 1800 an dimasa Tuan Syekh membuat penangkaran buaya, tidak pernah sekalipun terjadi manusia dimangsa buaya. “ Kebanyakan manusia dimangsa buaya diatas tahun 1900 an sejak penangkaran buaya Tak Wan jebol ,” Ujar Thamrin

Tidak ada komentar:

It's me

It's me

Jemur Island

Jemur Island

Menikmati Keagungan Tuhan

Menikmati Keagungan Tuhan

Lomba Tradisional Sampan Lopap

Lomba Tradisional Sampan Lopap
pacu sampan lopap

Potret

Potret
Masyarakat Bagan
Negeri Seribu Kubah

Gallery

Hai Sobat! Selamat Datang Di Jalan Perwira Bagansiapiapi